konon pada zaman es, wilayah kita terbagi menjadi dua bagian. Wilayah
barat yang disebut Paparan Sunda menjadi satu dengan Asia Tenggara
kontinental. Paparan ini meliputi Jawa, Kalimantan, serta Sumatra dan
menjadi satu dengan daratan Asia Tenggara, sehingga merupakan wilayah
yang luas. Wilayah timur yang disebut Paparan Sahul menjadi satu dengan
Benua Australia. Wilayah yang terletak di antara Paparan Sunda dan Sahul
itu meliputi Kepulauan Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Kawasan ini
kelak, oleh Wallacea disebut penyaring bagi fauna (bahkan manusia) di
kedua daratan. Karenanya, tipe fauna di kedua daratan cenderung berbeda
satu dengan yang lainnya. Dengan dukungan iklim serta suhu yang baik,
evolusi tumbuhan dan hewan (termasuk Primates) bisa berlangsung.
Pada masa itu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil di berbagai
daerah dengan mobilitas yang cukup tinggi. Jalur Indonesia-kontinen Asia
bisa mereka tempuh melalui rute darat, begitu pula dengan
Indonesia-Australia. Peralatan batu yang ditemukan di Sulawesi Selatan
dan Nusa Tenggara serta di Filipina, mungkin bisa digunakan untuk
merunut kehidupan Pithecanthropus yang tinggal di kawasan ini. Kemudahan
komunikasi itu memungkinkan mereka untuk mengadakan migrasi ke dalam
dua arah yang berlawanan.
Perubahan mulai terjadi pada daratan dan kehidupan manusia, saat es
mulai mencair. Karena air laut menjadi lebih tinggi dan menutupi
bagian-bagian rendah dari kedua paparan, maka membentuk pulau-pulau baru
yang saling terpisah. Dampaknya adalah kelompok-kelompok manusia itu
menjadi tercerai-berai dan hidup di dalam pulau-pulau yang saling
berlainan.
Fenomena alam itu tidak hanya sekali terjadi, sehingga memungkinkan
faktor-faktor evolusi seperti seleksi alam, arus gen, dan efek perintis
untuk bekerja. Hasilnya adalah populasi baru yang mungkin sekali berbeda
dengan induknya. Mungkin karena faktor hibridisasi yaitu pembauran gen
atau perjodohan antara dua golongan makhluk hidup. Mungkin pula karena
pigminasi yaitu proses pengerdilan individu sebagai akibat adanya
seleksi alam dan terbatasnya bahan makanan untuk populasi yang semakin
bertambah. Proses inilah yang antara lain mengakibatkan mengapa manusia
purba yang ditmukan di kawasan Sangiran berbeda dengan yang ditemukan di
Flores pada tahun 2004.
Nah, dengan latar belakang sejarah seperti itulah muncul kehidupan
manusia di bumi Indonesia. Lalu, seperti apa jenis manusia purba yang
ada di Indonesia dan sampai pada tahap apakah kebudayaan mereka?
Pembelajaran berikut ini akan memandumu dalam mengidentifikasi dan
mendeskripsikan perkembangan manusia purba di Indonesia.
a. Jenis Manusia Purba di Indonesia
Seperti telah kamu ketahui, bah-wa manusia purba itu mempunyai bentuk
dan sifat yang berbeda bila di-bandingkan dengan manusia zaman sekarang.
Tengkorak manusia purba cenderung lebih kecil namun me-manjang,
rahangnya tebal namun tidak berdagu serta tidak mempunyai dahi.
Perbandingan semacam ini bisa kita peroleh setelah kita menganalisis
serangkaian penemuan fosil, baik yang berupa tengkorak maupun
tulang-tulang anggota badan lainnya.
Begitu pula saat kita nanti mendeskripsikan hasil-hasil budayanya.
Data-data tentang hasil budayanya itu bisa kita peroleh setelah kita
menganalisis fosil yang berwujud beragam bentuk peralatan yang diduga
pernah mereka gunakan. Lalu, untuk menentukan usia fosil itu kita harus
menganalisis lapisan bumi di ' mana fosil itu ditemukan, tentu dengan
bantuan ilmu Geologi. Dengan cara inilah, kita sekarang bisa
mengklasifikasi jenis dan budaya manusia purba di Indonesia.
Penemuan manusia purba di Indonesia terjadi pada akhir abad XIX. Bermula
dari dugaan Eugene Dubois bahwa manusia purba, monyet, dan kera itu
biasanya hidup di daerah tropis, karena ikiimnya tidak banyak mengalami
perubahan. Ada tiga dasar teori yang digunakan Dubois sebagai acuan.
Teori pertama, bahwa pencarian missink link dalam evolusi manusia
berasal dari daerah tropik. Alasannya, berkurangnya rambut pada tubuh
manusia purba hanya bisa terjadi pada daerah tropika yang hangat. Teori
kedua, Dubois mencatat bahwa dalam dunia binatang, umumnya mereka
tinggal di daerah geografis yang sama dengan asal nenek moyangnya. Dari
segi biologi, hewan yang paling mirip dengan manusia adalah kera besar.
Oleh karena itu, Dubois menduga bahwa nenek moyang kera besar mempunyai
hubungan kekerabatan (kinship) dengan manusia. Teori ketiga, Dubois
percaya bahwa Asia Tenggara merupakan asal usul manusia. Alasannya, di
sana ada orang utan dan siamang.
Penelitian pun dilakukan oleh sejumlah peneliti luar negeri di berbagai
tempat. Secara umum penelitian itu terbagi menjadi tiga tahap yaitu
periode 1889-1909, periode 1931-1941, serta periode 1952 sampai
sekarang. Dunia ilmu pengetahuan (terutama Palaeoantropologi dan ilmu
Hayat) menjadi gempar saat tahun 1889 Dubois berhasil menemukan sejumlah
fosil atap tengkorak di Wajak, Tulungagung, Kediri, yang kemudian
diikuti dengan penemuan-penemuan lain di Kedungbrubus dan Trinil. Fosil
itu disebut dengan Pithecanthropus erectus.
Namun sayangnya, sebagian besar fosil tersebut kini tersimpan di Leiden,
Belanda. Fosil lain berhasil ditemukan oleh ter Haar, Oppenoorth, dan
von Koenigswald di Ngandong, Blora, antara tahun 1931-1933, berupa
tengkorak dan tulang kering yang disebut Pithecanthropus soloensis. Pada
tahun 1936-1941, von Koenigswald kembali berhasil menemukan fosil
rahang dan gigi yang bemkuran besar serta tengkorak manusia purba di
Sangiran, yang kemudian disebut Meganthropuspalaeojavanicus.
Selanjutnya, penelitian pascakemerdeka-an banyak melibatkan ahli-ahli
Indonesia, terutama di kawasan Sangiran. Berikut ini adalah jenis
manusia purba di Indonesia.
1) Meganthropus atau Manusia Raksasa
Meganthropus berasal dari kata mega yang berarti besar dan anthropus
yang berarti manusia. Memang, apabila fosil makhluk itu kamu amati,
pasti kamu akan terperangah: besar rahang bawahnya melebihi rahang
gorila laki-laki. Fosilnya yang terdiri atas rahang bawah, ra¬hang
atas,''serta gigi-gigi lepas di¬temukan oleh von Koenigswald di Pucangan
tahun 1936-1941, dalam lapisan bumi pleistosen tua. Fosil ini kemudian
disebut Meganthro¬pus paleojavanicus atau manusia besar dari Jawa zaman
kuno.
Selanjutnya, rahang bawah yang lain ditemukan oleh Marks di Kabuh tahun
1952. Namun, sejauh ini di kalangan ilmuwan nasih merasa kesulitan untuk
menempatkan Meganthropus di dalam evolusi manusia. Apakah tergolong
Pithecanthropus, Homo, atau Australopithecusl Pakar palaeoan-tropologi
kita, Prof. Dr. Teuku Jacob, berpendapat bahwa Meganthropus me-rupakan
bentuk khusus (yang lebih besar) dari Pithecanthropus. Alasan teorinya
adalah ia berevolusi dengan cara adaptif, akibat pengaruh lingkung-an
alam'pada masa tertentu. Mungkin, seandainya rahang bawah itu di¬temukan
bersama-sama dengan rahang atas dan tengkoraknya, misteri kehidupan
Meganthropus baru bisa terbuka.
2) Pithecanthropus atau Manusia Kera
Pithecanthropus berasal dari kata pithekos yang berarti kera dan
anthropus yang berarti manusia. Kebanyakan fosil jenis inilah yang
berhasil ditemukan di Indonesia. Mereka hidup pada zaman pleistosen
awal, tengah, dan akhir. Makhluk ini mempunyai ciri-ciri tinggi badannya
165-180 cm, tubuh dan badannya tegap, gerahamnya masih besar, rahangnya
kuat, tonjolan kening tebal (melintang pada dahi dari pelipis ke
pelipis), tonjolan - belakang kepalanya nyata, belum berdagu, serta
berhidung lebar. Volume otaknya berkisar antara 750 sampai 1.300 cc.
Makhluk jenis Pithecanthropus juga ditemukan di kawasan yang lain. Di
Cina Selatan ditemukan Pithecanthropus lautianensis dan di Cina Utara
disebut Pithecanthropus pekinensis. Mereka hidup 800.000 hingga 500.000
tahun yang lampau. Makhluk sejenis juga ditemukan di Tanzania, Kenya,
dan Aljazair di Afrika, serta di Eropa seperti di Jerman Barat, Jerman
Timur, ~^| Prancis, Yunani, dan Hongaria. Namun, kebanyakan ditemukan di
Indonesia. Ada beberapa jenis manusia purba yang tergolong ke dalam
Pithecanthropus, antara lain sebagai berikut.
a) Pithecanthropus Mojokertensis atau Manusia Kera dari Mojokerto
Jenis ini diduga merupakan manusia purba tertua yang ada di Indonesia
dan di¬temukan tahun 1936 di Pucangan serta Mojokerto, berupa tengkorak
anak-anak berusia 6 tahun. Isi otaknya berkisar 650 cc. Fosil ini
ke-mudian disebut Pithecan¬thropus mojokertensis atau Pithecanthropus
robustus (robustus artinya besar). Dari hasil penelitian, bisa
di-simpulkan bahwa makhluk ini hidup pada 2,5 sampai 1,25 juta tahun
yang lampau. Makhluk ini mempunyai spesifikasi: berbadan tegap, tonjolan
keningnya tebal, tulang pipinya kuat, dan mu-kanya menonjol ke depan.
Makhluk ini hidup bersama-an dengan Meganthropus, namun sulit
menghubung-kan evolusi keduanya.
b) Pithecanthropus Erectus atau Manusia Kera yang Berjalan Tegak
Jenis ini merupakan generasi kedua manusia purba di Indonesia. Yang
fenomenal dari jenis ini adalah selain fosilnya ditemukan paling awal,
juga memiliki wilayah penyebaran yang cukup luas. Fosil jenis ini
terdiri atas atap tengkorak, tulang paha, serta beberapa fragmen tulang
paha yang ditemukan di Trinil tahun 1891. Fosil ini merupakan kepunyaan
laki-laki dengan isi otak kira-kira 900 cc. Dari penelitian terhadap
tengkoraknya, Dubois member! nama Pithecanthropus atau manusia kera dan
dari tulang pahanya ia member! nama erectus atau berjalan tegak. Tidak
kurang dari 23 jenis fosil berhasil ditemukan di berbagai daerah di
kawasan Sangiran. Maka, tidak aneh bila fakta dan cerita tentang
kehidupan Pithecanthropus lebih banyak kita peroleh dibandingkan dengan
manusia purba dari jenis yang lain. Misalnya, makhluk ini hidup sekitar
sejuta hingga setengah juta tahun yang lalu, mempunyai tinggi badan
160-180 cm dengan berat badan 80 sampai 100kg.
Yang membedakan Pithecanthropus erectus dengan Pithecanthropus
Mojokertensis adalah besar isi tengkorak, tebal atap tengkorak, bentuk
tonjolan belakang kepala dan tonjolan kening, serta daerah telinga. Dari
fosi1 Pithecanthropus orectus yang berhasil ditemukan, kebanyakan
berjenis kelamin laki-laki. Diduga jenis perempuannya banyak yang
meninggal saat kehamilan dan persalinan.
c) Pithecanthropus Soloensis atau Manusia Kera dari Solo
Nama Pithecanthropus soloensis diberikan oleh ilmuwan kita Prof. Dr.
Teuku Jacob setelah meneliti 14 jenis fosi1 dari Desa Ngandong di Lembah
Bengawan Solo sebelah utara Trinil. Jenis ini merupakan generasi ketiga
manusia purba di Indonesia. Dari penemuan fosi1 yang ada di Sangiran
dan Sambungmacan, makhluk ini mempnnyai ciri khas: volume otak 1.000
sampai 1.300 cc, tengkoraknya lonjong, tebal dan masif, tonjolan
keningnya cukup nyata, dahinya lebih terisi, serta tengkoraknya lebih
tinggi dibanding kedua manusia terdahulu. Tanda-tanda yang lain adalah
akar hidungnya lebar dan rongga matanya sangat panjang, tinggi badannya
165 sampai 180 cm, serta tulang keringnya tegap. Dari identifikasi ini
bisa disimpulkan bahwa meskipun letak kepalanya di atas tulang belakang,
namun belum seperti letak kepala manusia saat ini.
Pithecanthropus soloensis yang hidup kira-kira 900.000 hingga 300.000
tahun yang lalu itu, secara evolutif lebih dekat dengan Pithe¬canthropus
mojokertensis dibandingkan dengan Pithecanthropus erectus.
Para ilmuwan menduga bahwa kedua makhluk itu memang mem-punyai kaitan
dalam hal evolusi. Yang membedakannya dengan ke¬dua manusia purba
terdahulu adalah besarnya tengkorak, tonjol¬an kening, dan tonjolan
belakang kepala, daerah telinga dan daerah hidung. Hanya saja, volume
otaknya semakin bertambah, demikian pula otak kecilnya. Kamu tentu
mengetahui apa dampak yang muncul di balik berkembangnya volume otak
ini. Dengan otak yang semakin berkembang itu, Pithecanthropus soloensis
mulai menemukan dan mempunyai cara hidup yang baru. Perubahan inilah
yang menyebabkan berkembangnya kebudayaan manusia-manusia purba di
Indonesia. Oleh karena itu, ada beberapa ahli yang mengelompokkan
Pithecanthropus Soloensis ini ke dalam kelompok Homo Neandertalensis.
Bahkan, ada pula yang memasukkan-nya ke dalam kelompok Homo Sapiens.
Namun, sejauh ini para ilmuwan belum mencapai kesepakatan.
3) Homo atau Manusia
Jenis Homo ini mulai mendekati dengan bentuk manusia. Hidup pada zaman
pleistosen muda. Sementara itu, dari serangkaian fosi1 yang ditemukan
diduga mereka hidup 200.000 tahun yang lalu. Selain banyak jumlahnya dan
ditemukan di berbagai tempat, fosilnya tidak hanya berupa tengkorak
melainkan juga berupa kerangka yang lengkap. Ada beberapa jenis manusia
purba dari kelompok Homo ini, antara lain sebagai berikut.
a) Homo Neandertalensis atau Manusia dan Lembah Meander
Fosil makhluk ini ditemukan tahun 1856 di Lembah Sungai Neander dekat
Kota Dusseldorf, Jerman. Fosil sejenis juga ditemukan di Francis,
Belgia, Jerman, Italia, Yugoslavia, serta berbagai negara di Eropa. Di
Palestina, fosil itu ditemukan di Gua Tabun dekat Mount Carmel, sehingga
disebut HomoPalestinensis. Semula, makhluk ini hanya dianggap sebagai
evolusi manusia yang kandas. Namun, setelah penemuan Homo
neandertalensis, para ilmuwan sepakat bahwa makhluk ini merupakan nenek
moyang salah satu ras manusia.
Yang cukup mengagumkan dari pe¬nemuan fosil-fosil ini adalah
ditemukan-nya beragam peralatan batu dan sisa-sisa kebudayaan lama di
dekat lokasi fosil. Hal itu menunjukkan, bahwa tingkat kehidupan mereka
sudah akrab dengan kebudayaan. Bahkan, di Eropa sering ditemukan
bekas-bekas api di sekitar penemuan fosil, yang diduga sebagai solusi
atas dinginnya iklim di daerah Glasial. Dari penelitian terhadap
peralatan yang berhasil ditemukan menunjukkan bahwa mereka sudah
berburu. Peralatan batu selain digunakan untuk senjata juga digunakan
untuk memotong.
b) Homo Sapiens atau Manusia Sekarang
Generasi pertama dari manusia sekarang mula-mula hidup pada lapisan
pleistosen muda atau zaman glasial terakhir (sekitar 80.000 tahun yang
lampau). Mulai saat itu, tidak ditemukan lagi makhluk-makhluk dari dua
jenis terdahulu. Karena sejak zaman holosen, fosil manusia yang berhasil
ditemukan menunjukkan perbedaan empat ras pokok yang saat itu ada di
muka bumi. Keempatnya sebagai berikut.
(1) RasAustraloid yang kini sisa-sisanya bisa kamu temukan di pedalaman
Benua Australia. Fosil manusia dari jenis ini ditemukan oleh Rietschoten
tahun 1889 di Desa Wajak Kab. Tulungagung Jawa Timur, di Lem¬bah Sungai
Brantas dalam lapisan pleistosen muda. Fosil ini berupa tengkorak,
fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher. Pada tahun
berikutnya ditemukan pula fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan
bawah serta tulang paha dan tulang kering. Dari hasil penelitian
terhadap fosil itu diperoleh beberapa kesimpulan. Tengkorak manusia ini
tergolong besar dengan volume otak 1.630 cc, mukanya datar dan lebar.
Akar hidungnya lebar, dahinya agak miring, di atas rongga mata ada busur
kening yang nyata. Tinggi manusia itu kira-kira 173 cm diteliti dari
tulang pahanya. Manusia yang kerrtudian disebut Homo Wajakensis itu
diperkirakan hidup 40.000 tahun yang lampau, tersebar di Paparan Sunda
dan sebagian Indonesia Timur.
Prof. Dr. Teuku Jacob mengajukan sebuah teori, bahwa di daerah Papua
(Irian Jaya), telah berkembang suatu ras khusus dari ras Wajak dan
menjadi nenek moyang penduduk asli Australia sekarang. Salah satu
kemungkinan mengapa terjadi arus migrasi dari Irian ke Australia adalah,
masih utuhnya daratan di kedua bagian bumi itu. Laut saat itu belum
terbentuk, sehingga mobilitas manusia bisa merambah ke wilayah yang
luas. Nah, dari sinilah kita bisa merunut mengapa ras Wajak mampu
menyebar hirigga ke Irian. Bahkan, menurut Teuku Jacob, dari ras Wajak
ini pulalah berkembang menjadi penduduk Irian dan Melanesia.
(2) Ras Mongoloid adalah ras yang paling besar jumlahnya dan luas
wilayah penyebarannya, bahkan hingga saat ini. Fosil manusia dari jenis
ini ditemukan di Gua Chou-Kou-Tien (sebelah barat Beijing) Tiongkok
antara tahun 1927 dan 1937. Fosil yang berhasil ditemukan itu
membuktikan bahwa manusia ini memiliki kemiripan dengan Pithecanthropus
yang ada di Indonesia. Fosil ini kemudian diberi nama Pithecanthropus
pekinensis. Dari hasil penelitian terhadap fosilnya, diperoleh data
bahwa ternyata tengkoraknya lebih besar bila dibandingkan dengan
Pithecanthropus Erectus, dengan volume otak kira-kira 900 hingga 1.000
cc. Berarti volume otaknya telah mendekati volume otak manusia sekarang.
Apalagi di sekitar penemuan fosilnya ditemukan serangkaian peralatan
yang menunjukkannya telah memiliki kebudayaan. Bermula dari manusia
inilah, kemudian berkembang menjadi beragam ras Mongoloid di Asia Timur,
Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Utara, Asia Timur Laut, bahkan hingga
Benua Amerika Utara dan Selatan. Mereka diperkirakan hidup antara 40.000
hingga 30.000 tahun yang lampau. Kamu kini tentu bisa merunut,
bangsa-bangsa mana sajakah yang nenek moyangnya berasal dari
Pithecanthropus Pekinensis ini.
(3) Ras Kaukasoid yang menjadi cikal bakal bangsa-bangsa di Eropa,
Afrika bagian utara Gurun Sahara, Asia Barat Daya, Australia serta Benua
Amerika Utara dan Selatan. Fosil manusia yang berhasil ditemukan di
Desa Les Eyzies, Dordogne di Prancis, diperkirakan berasal dari 60.000
tahun yang lampau. Fosil manusia yang menjadi nenek moyang penduduk
Eropa sekarang itu kemudian disebut Homo Sapiens Cromagnonensis. Fosil
yang ditemukan itu mempunyai bentuk yang indah, tinggi, dan besar,
mukanya selaras dengan bentuk dahinya. Sisa-sisa manusia ini bisa
dijumpai pada bangsa Kabyl di Afrika Utara.
(4) Homo Sapiens yang mula-mula menunjukkan ciri-ciri ras Negroid,
ditemukan di Asselar sebelah timur laut Timbuktu (di tengah-tengah Gurun
Sahara). Fosil manusia ini oleh para ahli palaeoantropologi diberi nama
Homo Sapiens Asselar, diperkirakan hidup 14.000 tahun yang lampau. Ras
Negroid ini dianggap oleh para peneliti manusia purba sebagai ras
manusia yang paling muda
Dari keempat jenis nenek moyang ras itulah, manusia berevolusi dan
berkembang biak menjadi besar serta beragam sifatnya. Masing-masing ras
mempunyai spesifikasi dan membentuk satuan sosial sendiri-sendiri, serta
menempati wilayah regional tertentu
From: http://perkembangan-sejarah.blogspot.co.id